17 Maret 2008

Sejarah Panjang Radio di Indonesia

Berhubung nyambung dengan cerita sebelumnya, jadi ditempelin deh cerita tentang RRI disini, hatur nuhun buat koran galamedia.
--------------------------------------------------------------------------------------
"WIL sluiten nu. Vaarwl tot betere tijden! Leve de Koningen!" Kami akhiri sekarang. Selamat berpisah sampai waktu yang lebih baik. Hidup Sang Ratu. Demikian Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM), radio siaran Hindia Belanda mengakhiri siarannya pada 8 Maret 1942, saat berakhirnya masa kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Rupanya "waktu yang lebih baik" itu, bagi NIROM tidak pernah ada karena Indonesia kemudian diduduki pemerintahan militer Jepang dan kemudian merdeka pada 17 Agustus 1945.

Radio sebagai salah satu alat komunikasi massa, yang merupakan "kekuatan kelima", memiliki fungsi penting, sebagai alat kontrol sosial, memberi informasi, menghibur, mendidik, dan melakukan persuasi. Radio di Indonesia mempunyai catatan sejarah panjang, seperti yang dituturkan pakar sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof. Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.Sc. pada peringatan 60 tahun Radio Nederland Wereldomroep (RNW) di Hotel Savoy Homann Bandung, awal November silam.

Peringatan ini digagas RNW Jakarta bekerja sama dengan Radio Mara Githa Bandung dan dihadiri wakil Kedutaan Besar Belanda di Indonesia, Ad Koekkoek. Acara yang dipandu Aom Kusman ini, ternyata banyak mengundang tawa. Aom Kusman memandu acara dengan banyolan-banyolannya.

Menurut Nina, sejarah panjang radio di Indonesia dimulai pada masa Perang Dunia I (1914-1918). Kala itu, Belanda biasa berkomunikasi dengan negara jajahannya, Hindia Belanda, dengan menggunakan kabel laut (telegraf laut) melalui Aden, yang dikuasai Inggris. Sebagai negara netral pada masa PD I, Belanda harus memilih jalur komunikasi, kemudian dipilih jalur udara (radio telegraf).

Percobaan komunikasi radio telegraf (gelombang radio pendek) pertama kali dilakukan pada 1916 dengan peralatan Telefunken Jerman, di Desa Cangkring, di kaki Gunung Malabar Kab. Bandung. Dan pada 1917, pesawat penerima di Cangkring dapat menerima sinyal dari stasiun pemancar telegraf di negara-negara Eropa. Karena itu, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mendirikan stasiun pemancar di lembah Gunung Malabar. Tak lama kemudian pemerintah Hindia Belanda mengadakan persetujuan dengan Telefunken untuk mendirikan pemancar radio yang mempergunakan booglamp (lampu tabung).

Percobaan ini ternyata berhasil, sehingga tahun 1922 sebuah antene gunung sudah berdiri tegak di lembah Gunung Malabar setinggi 250-750 meter, yang merupakan antene tertinggi di dunia kala itu. Pada 5 Mei 1923, Stasiun Pemancar Radio Telegraf Malabar dibuka secara resmi untuk umum oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. D. Foek.

Ternyata menggunakan gelombang radio pendek yang mengunakan lampu tabung biayanya lebih murah. Makanya tak heran jika dari Stasiun Malabar ini, Belanda banyak menyiarkan tanda-tanda waktu dan berita pers ke kapal-kapal dan komunikasi menggunakan radio pendek pun semakin meningkat.

Pada 11 Maret 1925, suara dari pemancar gelombang pendek PCJJ Philips Laboratoria di Eindhoven terdengar di Malabar, yang disusul pembangunan pemancar telefoni. Melalui pemancar ini, Ratu Belanda, Ratu Wilhelmina menyapa warganya yang berada di tanah jajahan (3 Juni 1927). Percakapan ini merupakan yang pertama dilakukan menggunakan gelombang pendek antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda.

Sebagai peristiwa sejarah, pemerintah Belanda kemudian mendirikan monumen di Tjitaroem Plein (Lapangan Citarum) Bandung. Monumen ini berbentuk setengah bola dunia dengan patung dua laki-laki tanpa busana di kedua sisinya, berdiri berhadap-hadapan. Monumen ini melambangkan sudah tidak ada jarak di bumi ini dengan adanya alat komunikasi. Sayang patung ini kemudian dibongkar oleh Pemerintah Kota Bandung, karena dianggap asusila, tidak sesuai dengan adat ketimuran. Sedangkan nama D. Groot sendiri diabadikan menjadi sebuah jalan, sekarang Jln. Siliwangi.

Pada Desember 1927, disiapkan pemancar telefoni kristal yang dibuat di Laboratorium Dinas Radio di Bandung. Percobaan terus dilakukan, pada 7 Januari 1929 dibuka secara resmi komunikasi radio antara Belanda dan Indonesia. Sejak saat itu demam radio muncul di mana-mana, termasuk di Indonesia. Bahkan, teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pun berhasil dipancarluaskan ke seluruh negeri dan dunia internasional melalui gelombang radio yang berpusat di Bandung. Walaupun pada saat itu, pemerintah Jepang memperketat siaran radio dan hanya memperbolehkan merelai siaran dari Tokyo melalui pemancar radio yang berada di Palasari Dayeuhkolot Bandung.

Para pemuda radio Bandung berhasil mengambil alih pemancar dari tangan Jepang dan kemudian melakukan hubungan dengan pemuda pos telegraf dan telefoni (PTT) yang menguasai pemancar-pemancar radio di Dayeuhkolot dengan kekuatan 10 kilowatt. Pada pukul 19.00 malam (17 Agustus 1945), dibacakan teks proklamasi oleh Sakti Alamsjah, didampingi R.A. Darya, Sam Amir, dan Ny. Odas Sumadilaga dengan ancaman moncong senjata Jepang. Call sign yang digunakan, "Di sini Bandung Siaran Radio Republik Indonesia".

Radio Republik Indonesia (RRI) sendiri didirikan pada 11 September 1945, oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang di 6 kota. Kemudian mereka melakukan rapat di rumah Adang Kadarusman di Jln. Menteng Dalam Jakarta. Rapat ini kemudian memilih Dr. Abdurahman Saleh sebagai pemimpin umum RRI yang pertama. Pada rapat itu, dikeluarkan pula deklarasi RRI yang disebut Piagam 11 September 1945, berisi 3 butir komitmen yang kemudian dikenal dengan Tripasetya RRI. Butir ketiga berbunyi, merefleksikan komitmen RRI untuk bersikap netral, tidak memihak pada salah satu aliran/keyakinan partai atau golongan. Pada 11 September kemudian diperingati sebagai hari jadi RRI. (Dari Gala Media Bandung)**

Tidak ada komentar: